Edward Shils (1972) mengatakan bahwa praktek politik Indonesia bukan
lahan subur untuk idealitas dan perjuangan. Meskipun banyak ilmuwan
dan praktisi politik memiliki ide kebangsaan, namun mereka tidak
berhasil membangun bangsanya sendiri.
Kenyataannya, penampilan
Indonesia sebagai negara demokrasi sepertinya belum ideal. Praktek KKN
terus berlanjut, pembobolan bank belum berhenti, penyalahgunaan
wewenang merajalela, mafia hukum dan peradilan semakin kasatmata,
kekerasan semakin menghantui masyarakat. Tentu saja ada banyak faktor
penyebab. Akan tetapi, inti persoalannya berada pada terabaikannya
penataan ulang dan pembenahan kejiwaan bangsa. Dalam hal ini mencakup
masalah ideologi, paham kenegaraan, serta perubahan paradigma
pendekatan dalam penyelenggaraan negara yang kental dengan
”pragmatisme-reaksioner”.
Dengan menempatkan secara tunggal
bahwa demokrasi adalah segalanya, maka dengan mudah negara berdalih
semua proses dan kebijakan negara adalah hasil dari aspirasi warga
negara melalui berbagai hal termasuk wakilnya di parlemen. Inilah
barangkali oleh para penyelengaara negara dijadikan legitimasi.
Demokrasi yang Haram
Dalam
sejarahnya, semua kekuasaan yang ada dalam masyarakat sedikit banyak
memiliki andil menitipkan kepentingan pada negara. Namun, tak dapat
dipungkiri ada kelompok yang dominan dibandingkan dengan kelompok
lainnya sehingga kepentingan lebih banyak berhasil.
Meskipun
semrawut, proses demokratisasi di dunia masih terus berlanjut. Dengan
dalih demokrasi, banyak politisi dengan mudahnya mereka menyalahgunakan
posisinya. Dengan dalih demokrasi, mereka bisa berbuat sakarepe dewe.
Dengan demokrasi, mereka berdalih untuk apa pun.
Hampir semua
negara di dunia ini meyakini demokrasi sebagai tolok ukur dari
keabsahan politik. Keyakinan bahwa kehendak rakyat adalah dasar utama
kewenangan pemerintah menjadi basis bagi tegak kukuhnya sistem politik
demokrasi. Hal itu menunjukkan bahwa rakyat diletakkan pada posisi
penting walaupun secara operasional implikasinya tidak demikian.
Hukum Besi
Dalam
politik demokrasi, hal ini dikenal semacam black hole dalam tata
politik, populer disebut the dark-side of democracy (sisi gelap
demokrasi). Melalui proses yang demokratis, akan terjadi transformasi
kedaulatan menjadi kewenangan. Kewenangan inilah yang dimanfaatkan oleh
mafia di Indonesia untuk tidak berdemokrasi dengan baik.
Akhirnya,
hukum besi oligarki muncul. Penguasa oligarki ini berkuasa di Negara
ini atas nama rakyat yang tertindas, selalu berusaha melestarikan dan
memonopoli kekuasaan dan ekonomi yang dipegangnya dengan selubung
ideologi tertentu yaitu demokrasi. Dengan dalih konsensus Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), penguasa oligarki ini menghancurkan setiap pihak
yang menentang dan mempertanyakan legitimasinya dengan berbagai macam
tuduhan dan fitnah. Lantas, di mana letak falsifikasi demokrasi.
Sesuai
dengan artinya, falsifikasi adalah teori yang gagal karena tidak dapat
bertahan terhadap suatu eksperimen dan digantikan oleh teori spekulatif
lain. Ini berarti, demokrasi berkembang melalui kesalahan dan
kekeliruan yang telah secara tidak langsung diterapkan oleh Indonesia.
Oleh karena itu, demokrasi sangat pantas untuk dikaji kembali guna
ditemukan teori-teori baru yang baik untuk kemaslahatan umat manusia.
Menurut
Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang
menjadi standar baku. Antara lain: Kebebasan berbicara setiap warga
Negara, Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang
berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti kekuasaan dipegang
oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas, Peranan
parpol yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat,
Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, supremasi
hukum (semua harus tunduk pada hukum), semua individu bebas melakukan
apa saja tanpa boleh dibelenggu.
Jika prinsip tersebut
telaksana, maka impian Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat
bukanlah sekadar mimpi. Sejak dini kita harus mereformasi pelaksanaan
demokrasi di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar